Apakah nanti, setelah
kita menikah, kau masih melihat pesonaku? Atau hanya menganggap segala
sesuatu menjadi biasa? Seperti halnya, ketika aku bangun tengah malam
untuk menyusui anak kita, apakah kau akan terbangun bersamaku? Atau,
setidaknya apakah kau akan memujiku lewat hatimu: betapa mulianya istriku? Atau, ketika aku bersabar menghadapi tangis anak kita, apakah kau akan memujiku: betapa sabarnya istriku? Lagi, ketika aku tak tertidur sedetik pun saat menunggui anak kita yang sedang sakit, apakah kau akan bergumam: betapa besarnya pengorbanan istriku?
Apakah itu masih akan
ada, ketika sudah bertahun-tahun mengarungi rumah tangga? Apakah kau
masih akan mengingatkanku untuk beribadah, seperti ketika sebelum kita
menikah? Apa kau bersedia mengimamiku di setiap sujud kita? Apa kau
masih bersedia melirik wajahku yang mulai menua?
Apa ketika nanti aku
sudah memasak bertahun-tahun untukmu, kau menganggap itu biasa-biasa
saja? Dan, saat aku masak dengan lezat kau hanya diam dan
menghabiskannya. Lalu, ketika rasa lezat sedikit meleset karena aku
lelah, kau malah memarahiku?
Aku tetap akan merawat
anak-anak kita yang kian tumbuh bersama menuanya usia kita. Apa nanti
kesetiaanku takkan terbaca olehmu? Lalu, saat kau tiada di rumah, saat
aku menantimu begitu lama, menunggumu hingga anak kita terlelap, lalu
aku tertidur di meja makan
karena berharap bisa makan malam bersamamu, apakah kau tak ingin segera
pulang lebih cepat? Apa nanti kau tidak mau lagi menggenggam tanganku,
seperti yang ketika dulu kau lakukan sebelum kita menikah?
Apa memang semua hal yang luar
biasa sebelum menikah, ketika kita masih pacaran, menjadi biasa-biasa
saja setelah menikah? Apa ini yang dinamakan jodoh? Aku juga ingin
cintaku seperti pasangan yang lainnya. Aku juga butuh perhatianmu kelak,
wahai calon suamiku. Aku juga butuh sanjunganmu, serta kekaguman yang
kau sembunyikan, yang dari binar matamu aku bisa tahu. Tapi, apakah
dengan pacaran, lalu kita menikah, kau akan bersedia melakukan itu?
Aku tak memintamu
merawat anakku. Aku takkan memintamu terbangun ketika anak kita menangis
di malam hari. Aku takkan memintamu menunggunya ketika ia sakit. Aku
tidak akan memintamu menyapu rumah, mengepel lantai, mencuci pakaian,
menjemurnya, dan menyetrikanya. Aku takkan memintamu mencuci piring,
menyiram bunga, juga memasak. Aku hanya berharap, segala sesuatu yang
kau lihat dari diriku, membuat kau ingat, aku begini karena ingin
menunaikan ikrar sebagai istrimu kelak.
Namun, aku dilema. Aku
begitu takut caraku mendapatkan dirimu salah. Karena, pacaran adalah
sesuatu yang telah membuat segala sesuatu menjadi nista, serta hambar di
bahtera rumah tangga. Aku ingin kita membangun cinta setelah menikah.
Bukan jatuh cinta lalu menikah. Dengan begitu, kau pasti akan menyimpan
kagum, perhatianmu akan terus bertambah saat melihatku yang kian hari
kian setia, lalu kau takkan henti memuji asma-Nya. Kau pasti akan terus
bersyukur atas rahmat dan karunia yang Allah berikan kepadaku untuk
menjalani hidup bersamamu dan anak-anak kita.
Wahai, calon suamiku.
Jagalah dirimu. Seperti aku menjaga diriku di sini. Jagalah pandanganmu.
Seperti aku menjaga pandanganku di sini. Jaga hatimu, seperti aku
menjaga hatiku di sini. Perbaiki terus agamamu seperti yang juga aku
lakukan di sini. Dengarlah, wahai calon suamiku, pacaran hanya akan
membuat rumah tangga kita nanti menjadi hambar. Apalagi ketika dosa-dosa
serta cinta masalalu terbongkar. Sebut aku dalam doa, kusebut kau jua.
Allah pasti akan menyatukan hati yang mencintai-Nya. Aamiin..
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking